MERDEKA DARI GALAU
Pernahkah teman-teman merasa galau dengan pendidikan anak-anak? Merasa tidak berhasil, merasa tidak berprestasi? Pernahkah teman-teman mau pindah jalur? Misalnya dari jalur formal ke non formal atau ke informal? or vice
versa? Kalau aku pernah, seringkali malah. Untunglah suamiku punya pendirian teguh, sejak awal mulai menerapkan HS/HE tunggal di tahun 2007, sampai sekarang beliau tidak pernah berubah fikiran dan mengalami galau-galau seperti diriku ini. Mungkin aku yang terlau baper yach.
Betapa tidak, aku yang selalu berhadapan langsung dengan anak-anak setiap hari. Membersamai mereka hampir dalam segala hal. So, wajar galau sering muncul kan? Manusiawi sekali untuk seorang perempuan bukan? (he he ngibur diri)
Tujuan pendidikan anak-anak di keluarga kami sederhana saja, setidaknya begitu yang sering diingatkan suami. Kalau untuk anak perempuan cukup mendidiknya agar bisa menjadi istri sholehah dan menjadi ibu terbaik bagi anak-anaknya kelak. Nah, kalau kataku itu bukan hal sederhana. Bagaimana pendapat teman-teman? sederhana nggak ya? menjadi istri sholehah dan ibu terbaik itu kan membutuhkan banyak hal, ya kan?
- Butuh ilmu agama nan luas, ilmu qur'an dan ilmu hadist,karena ibu lah yg pertama kali mengenalkan anak pada Allah,membangun akhlak dan adab serta iman yang kokoh.
- Ilmu pendidikan, agar bisa mendidik anak dan keluarga sesuai ilmunya
- Ilmu manajemen, menyangkut manajemen waktu, manajemen keuangan keluarga, manajemen menu dst.
- Ilmu kesehatan,agar bisa menjaga kesehatan keluarga seperti asupan makanan, menjaga kebersihan, dll
- Ilmu tata boga
- Ilmu gizi, agar bisa menyiapkan makanan bergizi bagi keluarga
- Ilmu farmasi atau obat-obatan, bisa memberikan pertolongan pertama pada keluarga
- Ilmu keperawatan, yang merawat anggota keluarga kala sakit
- Ilmu psikologi, agar bisa berkomunikasi dengan anak disetiap jenjang usia i dan dengan suami sebagagai pendamping istimewa.
- Dan ilmu ilmu kontemporer lainnya.
So, itu tidak sederhana bukan? Lantas apa yang teman-teman lakukan kalau galau melanda? Masih kata suami, aku orangnya teoritis. Apa-apa harus pakai teori. Ya begitulah aku adanya. Teori menurutku adalah ilmu. So, kita bertindak, berbuat dan beramal harus berdasarkan ilmu, karena itu adalah salah satu syarat diterimanya amal, bukan?
Si sulung pernah ngebet sekali mau masuk SMA. Tapi SMA yang tidak ada pelajaran berhitungnya. Maunya di SMA yang hanya belajar bahasa saja, karena ia suka dengan pelajaran bahasa apa saja dan emoh dengan pelajaran hitung menghitung, kecuali menghitung uang beneran ya, he he. Tidak ada kan SMA yang seperti itu, terutama di daerah kami. Menurutku, tidak galib terjadi siswa sekolah formal yang hanya belajar disekolah saja akan mahir berbahasa asing, kalau dia tidak ikut kursus atau getol belajar secara mandiri. (Aku belum melakukan penelitian secara ilmiah sih, hanya memperhatikan secara umum saja)
Si tengah juga pernah mencoba bergabung selama seminggu disebuah SMP alternatif. Namun, walaupun pelajarannya sesuai dengan pelajaran yang sudah terumus di visi misi keluarga, but belajarnya full day dari Senin sampai Sabtu. Berangkat sekitar setengah tujuh pagi dan tiba dirumah kembali sekitar setengah enam sore. Dia sempat menikmati keseruan berada bersama teman-teman seangkatannya, namun dia sangat capek sekali. Tak ada yang bisa dilakukannya dirumah lagi kecuali tidur. Berhubung karena sistemnya masih mirip sekali dengan sekolah formal, maka sang ayah langsung mengambil tindakan. Ayah khawatir kalau fitrah iman, fitrah belajar, fitrah bakat, fitrah seksualitas, fitrah sosial dan fitrah perkembangan yang sudah kita coba bangun selama ini menjadi berangsur pupus. Untunglah dengan pengertian pengelola, alhamdulillah si Tengah masih bisa ikut kegiatan disana dua kali seminggu.
Lain lagi pesona tantangan dengan si bungsu. Menghadapi si bungsu yang laki-laki sungguh jauh berbeda dengan dua kakaknya yang perempuan, in every single thing. Nah, semakin seru deh galaunya.
So, apa yang aku lakukan kala galau terus meningkat?
Salah satu cara memerdekakan diri dari rasa galau yang melanda adalah dengan memurojaah kembali konsep-konsep dasar pendidikan dirumah. Salah satunya seperti pelajaran kuliah dengan ustadz Harry Santosa berikut ini.
Idealnya, jika harus bersekolah pilihlah sekolah yang bisa diajak kerjasama untuk melibatkan peran orang tua secara penuh dalam menumbuhkan fitrah anak-anaknya. Sekolah yang ramah fitrah umumnya sangat terbuka bahkan mendorong peran orang tua. Sekolah seperti ini biasanya informal dan berbasis komunitas (CBE). Jika memang harus disekolahkan pastikan sekolah yang dipilih tidak berpotensi merusak fitrah anak-anak kita. Mohon maaf dalam banyak hal biasanya sekolah umumnya menjadi tempat yang paling beresiko merusak fitrah anak, diantaranya beban akademis yang berat dan tidak relevan.
Banyak orang tidak bisa membedakan anatara pendidikan dan persekolahan. Pendidikan adalah agar anak-anak tumbuh indah fitrahnya secara utuh sesuai tahapan perkembangan usianya. Misalnya PAUD, ini agar anak-anak utuh tumbuh fitrahnya sesuai usianya di usia dini, bukan persiapan masuk SD dengan calistung. Dalam benak banyak orang pendidikan adalah menyiapakan naknya menjadi profesor/profesional/panglima sejak dini.
Lihat pula Prinsip Kurikulum Pendidikan Rumah
1. Syumuliah, komprehensif., meliputi semua fitrah bukan
hanya sebagian, misalnya fitrah belajar saja, atau fitrah iman saja, atau
fitrah bakat saja dstnya.
2. Insaniah. Human Nature Centered Development. Berpusat
pada keunikan tiap anak. Gunakan metode yang berangkat dari emphati potensi
keunikan anak, disebut dengan design thinking atau empati, idea, solusi bukan
amati, tiru, modifikasi. Ingat bahwa cara yang sama belum tentu berjalan baik
pada anak yang berbeda, temukan cara dan metode yang paling sesuai
3. Tadaruj. Sesuai Sunnatullah. Sesuai dengan Tahapan
Perkembangan, tidak berlaku kaidah makin cepat makin baik.
4. Tidak rigid dan rumit. Lebih banyak memfasilitasi dan
mendampingi serta menghantarkan bukan banyak mengajarkan, memaksa dan
mendominasi. Kurikulum rigid mirip formal akan membuat anakmati gairah belajar
dan juga gairah fitrah lainnya
5. Dipandu Kitabullah agar semua fitrah tidak rusak dan
menyimpang.
6. Peran Orangtua dan Komunitas.
Tazkiyatunnafs bagi orang tua atau guru penting. Karena tidak ada
anak bermasalah, yang ada adalah orang tua yang lebih dulu bermasalah.
Dengan berkomunitas/berjamaah maka secara waktu dan energi
serta pengetahuan akan lebih efisien dan efektif, karena saling menasehati
dalam keshabaran, kebenaran dan kasih sayang akan memperbaiki kinerja mendidik
masing masing keluarga
7. Tujuannya agar
anak mampu memberi manfaat dan menebar rahmat dengan peran spesifiknya sesuai
fitrahnya dan mampu memikul beban syariah tepat ketika aqil baligh
Ada pula Tahapan Pendidikan Rumah
Dibawah usia 10 tahun, anak anak seharusnya menikmati masa
anak anaknya tanpa tekanan dan target apapun. Mengembangkan semua fitrahnya
dengan beragam aktifitas di alam dan di kehidupan, agar banyak wawasan dan
pengalaman. Ini dapat dilakukan di rumah maupun berjamaah.
Di banyak model pendidikan usia 10 tahun adalah batas antara
masa anak awal dan masa anak akhir sebelum masuk kemandirian pada aqilbaligh.
Di atas usia 10 tahun anak anak baru fokus pada bakatnya
dengan harapan memiliki peran peradaban ketika usia aqilbaligh sekitar 15-17
tahun termasuk kemandirian dan kemampuan mengemban syariah personal.
Alur Pendidikan Setelah Usia 10 tahun
Alur pendidikan paska anak usia 10 tahun, tidak harus
akademis, dan tidak harus bersekolah. Ada jalur professional dan jalur
enterpreneurship bagi anak yang tdk berbakat akademis, ingin autodidak belajar
langsung pada maestro dll. Kelompok ini masuk jalur pendidikan informal yg
dijamin UU Sisdiknas 2003. Jika masih membutuhkan sertifikasi atau ijasah
universitas maka ada Perpres ttg KKNI dimana para professional hasil autodidak
maupun yg bersertifikat internasional tinggal datang ke kampus terdekat utk
diassess dan mendapat ijasah setingkat s1 atau s2 bahkan s3.
Di masa lalu, sebelum dunia mengenal sistem persekolahan
modern, diantara peran utama dan sejati para orangtua dan keluarga besar atau
komunitas sepanjang sejarah adalah mendidik anak anak mereka sendiri. Maka di
masa kini dan masa depan peran sejati ini, suka atau tidak, harus dikembalikan
lagi dalam mendidik anak anak kita.
Lihatlah anak anak semakin membutuhkan kurikulum
terpersonalisasi (personalized curriculum) yang fokus pada potensi unik atau
potensi fitrah masing masing anak. Tidak bisa lagi kurikulum terpusat dan
seragam nasional diterapkan pada tiap anak yang unik dan tinggal di alam
berbeda dan kehidupan berbeda.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan, bahkan harus turun
sampai ke satuan anak dan satuan kelas bukan satuan sekolah apalagi satuan
propinsi dan kabupaten. Sekolah sekolah terbaik di dunia, adalah sekolah yang
mampu mengintegrasikan individualized education dalam programnya.
Lihatlah berbagai kasus yang menimpa anak anak kita adalah
karena absennya peran orangtua dalam proses pendidikan. Orangtua menganggap
jika anaknya sudah tersekolahkan maka tuntaslah kewajiban mendidik anaknya,
lalu serta merta anaknya dianggap sudah terdidik.
Sayangnya kenyataan tidak demikian, wellschooled belum tentu
welleducated. Orangtua baru kaget setelah anak anak mereka yang sarjana
ternyata menjadi pemuda yang tidak dewasa atau menjadi pemuda galau yang
kehilangan peran atas bakatnya atau menjadi sarjana buruk akhlaknya atau
menjadi professor yang menyimpang seksualitasnya atau menjadi manusia bergelar
namun mati gairah belajarnya dstnya.
Ada banyak fitrah yang hanya bisa dididik dengan melibatkan
peran orangtua sejak anak bangun tidur sampai anak tidur kembali.
Ingatlah bahwa fitrah keimanan (spiritualitas, moralitas,
religiusitas dll) ini ditumbuhkan dengan keteladanan dari orang orang terdekat
anak dan suasana keshalihan 24 jam sehari.
Jika fitrah ini tumbuh indah merekah, ditandai dengan kecintaan dan
keridhaan beramal shalih maka alangkah bahagianya para guru dan pihak sekolah
yang tidak dipusingkan oleh kasus kasus kenakalan dan akhlak yang buruk. Anak
akan menggebu gebu mendalami dan mempraktekkan kebenaran.
Ingatlah bahwa fitrah belajar dan nalar ditumbuhkan dengan
idea dan inspirasi hebat setiap saat melalui momen keseharian yang hanya ada
dalam kehidupan anak di rumah dan di lingkungannya. Jika fitrah ini tumbuh
indah, ditandai dengan gairah belajar dan bernalar meluap luap maka alangkah
mudahnya peran guru dan sekolah yang tinggal memfasilitasi akses pengetahuan
saja.
Ingatlah bahwa fitrah bakat ditumbuhkan dengan pengamatan
intens dan konsistensi memfasilitasi berbagai aktifitas yang relevan dengan
sifat unik anak. Ini hanya bisa dilakukan oleh orangtua yang telaten dan
keluarga di rumah. Jika fitrah ini tumbuh indah paripurna, ditandai dengan anak
anak yang punya karya dan semangat mendalami bakat, maka alangkah dinamis dan
hidupnya sekolah yang tinggal menghantarkan anak anak pada ahlinya.
Ingatlah bahwa fitrah seksualitas ditumbuhkan dengan
kelekatan dan kedekatan orangtua dimana sosok ayah dan ibu harus hadir
sepanjang kehidupan anak. Jika fitrah ini tumbuh indah, maka sekolah tidak lagi
dipusingkan oleh kasus pelecehan seksual, penyimpangan seksual dstnya, sehingga
sekolah bisa fokus pada perannya memberikan keterampilan dan pengetahuan yang
relevan dengan bakat anak, relevan dengan alamnya dan kearifan lokalnya.
Maka suka atau tidak, setuju atau tidak, sekolah harus
membuka diri seluasnya dalam melibatkan peran orangtua secara penuh dalam
proses pendidikan. Keterlibatan para orangtua, bukan sekedar menghadiri seminar
parenting semata sebulan sekali namun keterlibatan dalam proses pendidikan dan
pengambilan keputusan bersama dalam menjalankan pendidikan berbasis komunitas.
Tentu kerja keras dari dua sisi. Para orangtua harus
disadarkan bahwa sekolah bukan tempat penitipan anak atau juga bukan binatu
atau laundry, dimana anak anak dianggap "cucian kotor" yang dibawa ke
binatu bernama sekolah untuk dicuci dan kemudian harus diambil dalam keadaan
bersih, licin dan terlipat rapih.
Pihak pemilik dan pengelola sekolah juga harus ikhlash dan
insyaf, bukan lagi jadi otoritas pengendali tunggal pendidikan, tetapi
memposisikan dirinya menjadi fasilitator, integrator dan mediator bagi
komunitas orangtua, guru, pendidik, warga sekitar, komunitas lainnya untuk bahu
membahu menjalankan pendidikan berbasis komunitas.
Sejak sekarang sebaiknya tidak ada lagi model pendidikan
yang bergaya produsen atau pabrik layaknya restoran cepat saji atau
supermarket, dimana orangtua dan komunitas di luar sekolah hanya dipandang
sebagai konsumen semata, guru guru dianggap karyawan semata, warga dianggap
penonton semata dstnya. Produk pabrik selalu tidak tahan lama, rentan karena
instan.
Lepaskanlah kacamata penjajah dan kacamata terjajah. Lepaskanlah
cara pandang sekolah dan guru adalah pihak yang paling tahu dan paling
benar, berkolaborasilah dalam komunitas
sehingga "demi waktu" beruntunglah mereka yang beriman dan saling
asah asih asuh. Model berjamaah seperti ini menjamin kedekatan pada kebenaran
dan memunculkan generasi yang santun dan respek terhadap alam dan kehidupan.
Sejujurnya gaya kurikulum cepat saji atau gaya kurikulum
serba ada tanpa melibatkan kearifan orangtua dan komunitas secara penuh, akan
menyebabkan obesitas karena menimbun energi ummat dan mental instan yang banyak
menghasilkan limbah dan penyakit.
Bukan hal yang mudah memang, namun sejujurnya, sekolah akan
ditinggalkan jika tidak mampu memainkan peran fasilitator, integrator dan
mediator ini. Pendidikan berbasis komunitas yang mengintegrasikan pendidikan
rumah adalah solusinya.
Mari lihat contoh teladan seperti Usamah bin Zaid diangkat Rasulullah menjadi panglima perang diusia belasan tahun. Muhammad Al Fatih juga sudah membuktikan juga. Diusia belianya menciptakan peradaban yang spektakuler. Pemuda-pemuda muslim generasi abad 20 juga sudah punya peran peradaban seperti Hassan Al Banna di usia belia,begitu juga Abul A'la Al maududi.
Demikian pula di Indonesia tampil di usia belia Buya Hamka, M Natsir.
Adakah generasi tersebut muncul kembali kala sistem persekolahan modern muncul? Orang tua kita, kita adalah generasi yang umumnya lambat mandiri dan lambat dewasa karena mengalamai sistem persekolahan yang melambatkan kedewasaan dan tidak menerima konsep aqil baligh. Sama sekali tidak menyiapkan anak memikul beban syariah dan punya peran peradaban ketika aqil baligh tiba. Wallahua'lam bishshowwab.
Tanah Mati, 17 Agustus 2016
by : Betty Pembelajar haus barokah
Bagus sekali Uni Betty, sangat kompleks dan sangat membantu, meski banyak juga yg masih membingungkan dan ngga terpahami. But at all, 2 tumbs 4 u. Suka sekali dg kata2 'Para orangtua harus disadarkan bahwa sekolah bukan tempat penitipan anak atau juga bukan binatu atau laundry, dimana anak anak dianggap "cucian kotor" yang dibawa ke binatu bernama sekolah untuk dicuci dan kemudian harus diambil dalam keadaan bersih, licin dan terlipat rapih.' Jadi termotivasi ut banyak belajar dari uni.
ReplyDeleteHe he maaf novia jadi banyak yang membingungkan ya, berarti nambah PR nih :) Uni sendiri juga masih banyak PR. Yuk sama-sama belajar, belajar sama-sama...
ReplyDelete