WHY HOMESCHOOLING?
Kami sekeluarga mengenal istilah Homeschooling atau Home Education
pada bulan Mei
2005, ketika harian Kompas
memuat liputan berita utama tentang praktisi Homeschooling di Indonesia.
Kami baru
melaksanakannya dengan sadar mulai
Januari 2007. Walaupun pada
hakekatnya semenjak si sulung masih dalam kandungan, bahkan kala proses
perjodohanpun secara tidak sadar proses Home Education sudah diterapkan juga.
Sebab sebagai orang tua tidak ada sebenarnya yang istimewa yang kami lakukan
dengan proses Homeschooling/Home Education. Kami hanya melaksanakan apa yang
semestinya orang tua lakukan terhadap anak-anaknya.
Kami sempat
juga tergoda untuk memasukkan si sulung ke TK IT formal, namun hanya
bertahan selama lima bulan. Godaan itu sebenarnya dipicu oleh saya sendiri, emaknya. Saya beralasan kepada
ayahnya, bahwa barangkali ada hal-hal
yang tidak bisa “kita” ajarkan kepada anak yang akan diperolehnya dari sekolah formal.
Setelah berhari-hari beragumentasi, akhirnya ayahnya mundur satu langkah dan
menyetujuinya, mungkin untuk memberi pembelajaran kepada saya dan memberi
pengalaman kepada si sulung.
Dan benar saja, hampir setiap pagi
terjadi “morning disaster”, teriakan agar segala sesuatunya dikerjakan dengan
cepat dan buru-buru, agar tidak terlambat dan ayahnya juga tidak telat ke
kantor. Si sulung yang matanya belum betul-betul melek mengerjakan segala
sesuatunya dengan begitu lambat dan ogah-ogahan, sehingga seringkali mengundang
emosi.
Disekolah ternyata memang dia datang agak
belakangan sehingga menimbulkan “something wrong” dengan mentalnya. Belum lagi
pulangnya, karena saya tidak bisa menjemputnya, terpaksa dia harus naik mobil
sekolah yang baru sampai dirumah jam tiga sore, karena harus mengantar yang
lain dulu, padahal dia pulang jam sebelas siang. Pasti dia sangat lelah sekali
sementara waktu makan siangnya juga sudah terlewat. Sekolahnya lumayan jauh
karena saya memilih sekolah yang terbaik dan berkualitas–menurut saya. Padahal,
menulis, membaca, belajar alqur’an dan
lain-lain kamilah yang mengajarnya dirumah, dan terbukti dia lebih unggul
daripada teman-temannya disekolah di bidang ini. Begitulah yang dilaporkan oleh
walikelasnya.
Akhirnya setelah lima bulan saya menemui
kepala sekolahnya untuk mengundurkan diri dan saya kemukakan bahwa si sulung
akan melanjutkan belajar dengan homeschooling. Saya lihat ada aura keraguan dan penuh
pertanyaan dari kepala sekolah tersebut. Beliau sempat melontarkan pertanyaan,”Lai ka bisa tu?Alah bapikiakan?” (“Apakah ibu
sanggup?” Sudahkah dipikirkan baik-baik?”). Wajar saja sang kepala sekolah itu
merasa khawatir karena homeschooling saat itu masih aneh dan belum ada
satu keluargapun yang menerapkannya di daerah kami Payakumbuh Sumatera
Barat. Akan tetapi saya menjawab pertanyaan dan
keraguan kepala sekolah itu dengan mantap, “InsyaAllah!’
Jadilah semenjak itu si sulung
melanjutkan belajar dengan homeschooling ala Emak. Sementara pengetahuan tentang homeschooling terus diperkaya dengan berburu buku-buku
tentang homeschooling serta browsing di internet. Dan yang sangat membantu sekali
adalah ikut milis sekolah rumah .Kami juga sudah menjadi member sejak awal
tahun berdirinya tahun 2007. Walaupun barangkali kami termasuk member pasif, akan tetapi kami
selalu memetik manfaat dari setiap topik yang dibahas, dan setiap tema yang
diperbincangkan.
Ternyata praktisi-praktisi HS/HE bukanlah
orang-orang sembarangan. Mereka adalah orang-orang yang pintar (dan
berpintar-pintar he he), berilmu pengetahuan, open minded, berkarakter dan care
dengan masalah pendidikan dan kemajuan masa depan bangsa . Mereka adalah
orang-orang yang sungguh luar biasa istimewa,
termasuk kami tentu saja, (ehem!) Betapa tidak, kami termasuk orang yang “ekstrim” –menantang
arus, yaitu membiasakan apa yang belum biasa dilakukan orang biasa, terutama
didaerah kami, belum ada teman sama sekali.
However, alhamdulillah sejauh ini kita sangat
menikmatinya, dan anak-anak juga having fun saja. Hari demi hari
rasa percaya diri saya semakin meningkat untuk melaksanakan HS/HE setelah
membaca berbagai buku dan sumber lain tentang HS/HE. Anak-anak juga semakin percaya diri, siapapun yang bertanya tentang sekolah
mereka, mereka selalu menjawab tanpa ragu-ragu bahwa mereka homeschooler. Mereka adalah Aisyah 12 tahun, Fathimah 10 tahun,dan
Abdurrohiim 4 tahun.
We love them. Setiap orang tua pasti ingin memberikan yang terbaik untuk
anak-anak yang
dicintainya. Kami menilai bahwa pilihan homeschooling adalah yang terbaik untuk
anak-anak kami, maka kami menjadi praktisinya.
Kami “terjerumus” dan memutuskan
untuk memilih homeschooling bukan karena putra-putri kami “Anak yang
berkebutuhan khusus” seperti keterbelakangan mental, cacat fisik atau cacat
moral. Alhamdulillah kami dikaruniai anak yang normal baik fisik maupun mental.
Namun demikian bukankah pada hakekatnya setiap anak mempunyai kebutuhan yang
khusus?
Delapan tahun belakangan
saya sudah berkecimpung aktif sebagai Penyelenggara dan Pendidik Anak Usia
Dini. I fall in love and totally face it. Setelah saya mendalami
berbagai teori yang berkaitan dengan PAUD dan mempraktekkannya langsung di
lapangan saya menilai bahwa praktek homeschooling sangat singkron dengan
program PAUD,
seperti memperhatikan dan menghargai
hak-hak anak, tidak ada pemaksaan terhadap anak, termasuk dalam hal kurikulum
sangat fleksibel, memperhatikan minat dan keinginan anak, menjadikan anak
sebagai pembelajar sejati - long life learner, memperhatikan gaya
belajar anak. Dan yang tak kalah penting dalam hal spiritual yang kami yakini kami juga bisa mengalirkan nilai-nilai, akhlak dan karakter dan menerapkannya langsung dalam keluarga. Wallahua'lam.
Comments
Post a Comment