HIDAYATULLAH UKHUWAH
Kalaulah beriman penduduk suatu kaum, maka Allah akan
melimpahkan rahmat/rezki dari langit dan bumi.
Alangkah indahnya hidup dalam cahaya
Islam. Wajah-wajah penuh senyuman. Ucapan salam bertebaran dimana-mana,
dijalan, di warung, dirumah, di mesjid, dilapangan, dan dimana saja. Ibu-ibu,
remaja putri, anak-anak perempuan, semuanya menutup aurat dengan jilbab yang
rapi. Anak-anak rajin ke mesjid dan mushalla
untuk belajar Alqur'an. Azan selalu berkumandang setiap waktu shalat
wajib tiba. Masjid-masjid penuh dengan jamaah. Bumi juga penuh berkah. Janji
Allah memang pasti "Kalaulah beriman
penduduk suatu kaum, maka Allah akan melimpahkan rahmat/rezki dari langit dan
bumi. Kala itu durian berbuah melimpah. Durian Kuranji waktu itu sungguh
terkenal enak. Harganyapun mahal. Manggis juga berbuah lebat sekali. Manggis
dengan kualitas super dihargai dengan sangat tinggi perkilonya. Warga Kuranji
hidup makmur. Peredaran uang meningkat. Daya beli masyarakat menjadi semakin
tinggi.
Itulah sedikit gambaran keberkahan
di kampung Kuranji tatkala Pesantren Hidayatullah mulai dirintis di Sumatera
Barat sekitar tahun 1992. Ustadz Usman Palese yang menjadi pimpinan perintis
waktu itu. Kedatangan beliau disertai empat orang staff ikhwah (Jamaluddin Nur,
Hussen, Rusydi, dan Zainuddin)--dan satu orang staff yang sudah berkeluarga--
pak Imsal dan Bu Rita.
KMM PUTRI
"Bet ikut pengajian dengan
orang pesantren yuk" kata Epi dan Vivi sore itu ketika kami menunggu mobil
umum pulang sekolah. Ya waktu itu aku masih duduk di kelas 2 SMA. Aku mulai
memakai jilbab semenjak masuk SMA. Waktu itu memakai jilbab belum diwajibkan di
sekolah seperti sekarang ini. Anak yang pakai jilbab baru sebatas siswi sekolah
khusus agama seperti siswi MTsN atau siswi MAN. Itupun tak jarang siswi MTsN
yang melanjutkan ke SMA yang membuka jilbabnya. Dulu aku memakai jilbab hanya
karena aku ingin memakainya. Aku hanya merasa bahwa memakai jilbab itu baik.
Sebenarnya aku belum memahami sepenuhnya apa urgensinya memakai jilbab itu.
Mungkin karena aku memakai jilbab itu pulalah Epi mengajakku untuk ikut
pengajian di pesantren. Aku langsung
merespon ajakan Epi dengan antusias. Menanyakan kapan acara dan dimana
tempatnya. Memang aku ingin sekali untuk belajar dan mendalami agama, namun
selama ini belum ada tempat dan sarana untuk itu. Apalagi dengan memakai jilbab
terkadang orang mengira aku tahu banyak dengan agama, padahal aslinya adalah
nol koma nol.
Pertemuan perdana pengajian
itu--kemudian disebut dengan KMM Putri--diadakan di sebuah kelas di gedung SD
Inpres Kuranji. Kesejukan menyelimuti sampai ke relung hatiku mendengarkan
kuliah pertama dari Ustadz Usman Palese, jauh melebihi kesejukan udara sore itu
yang diterpa angin semilir nan bertiup sepoi-sepoi. Memang terbukti hadist Rasulullah saw "
tidaklah berkumpul suatu kaum di suatu rumah diantara rumah Allah kecuali turun
kepada mereka sakinah, kasih sayang., dan dinaungi malaikat dan diperbincangkan
oleh Allah dengan para malaikat-Nya.
Penjelasan Ustadz Usman tentang
siroh Rasulullah saw sangat mengena dihati. Perjalanan hidup Rasulullah saw
dibagi menjadi fase-fase--fase yatim, menggembala, berdagang, ber-Khadijah, dan
ber-Gua Hira.
Semenjak ikut pengajian KMM putri, dan menjadi santri lepas
pesantren Hidayatullah Kuranji, rasa percaya diriku meningkat. Harga diriku
juga melesat naik. Dalam wahyu pertama
turun yaitu surat al Alaq ayat 1-5 dikatakan bahwa semua manusia dihadapan
Allah Ta’ala sama, dihadapan Allah Ta’ala, sama diciptakan dari air mani yang
hina. Kalau diperhatikan tubuh manusia itu malah penuh oleh kotoran. Mulai dari
mata, telinga, hidung, mulut,perut dan seterusnya. Jadi tidak ada yang perlu disombongkan.
Saya juga tidak goyah dan patah arang karena diejek,
padangan sinis, dan tatapan mata curiga. Saya merasa tidak malu menutup aurat,
walaupun berbeda dengan gadis kebanyakan pada waktu itu. Shalat saya jadi lebih berasa dari sebelumnya. Shalat
malampun juga jadi lebih terbiasa. Alhamdulillah.
MABIT
Wahai
orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah untuk shalat pada malam hari,
keculai sebagian kecil. (Yaitu) separuh atau kurang sedikit dari itu. atau
lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah alquran itu dengan perlahan-lahan.
sesungguhnya kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu. Sungguh bangun
ma;am itu lebih kuat (mengisi jiwa) dan bacaan watu itu lebih berkesan.
Sesungguhnya pada siang hari engkau sangat sibuk dengan urusan-urusan yang
panjang . dan sebutlah nama Tuhanmu. dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh
hati.... (QS Al muzammil 1-8)
“Bangun! Bangun! Shalat... shalat...”belum jam dua dini hari
suara Ustadz Usman Palese sudah menggelegar membangunkan penghuni wisma. Shalat
lail berjamaah dimulai jam dua dini hari itu. Para akhowat yang baru tertidur
satu atau dua jam itu—karena “maota”sebelum tidur seperti sudah menjadi sebuah
kewajiban karena banyaknya bahan yang mesti diperbincangkan karena sudah satu
minggu tidak bertemu saudara belahan jiwa nan sehati-- tetap bersemangat bangun
untuk shalat malam bersama. Ya shalat malam berjamaah dengan rukuk dan sujud
yang lama, yang diiringi dengan doa-doa khusyuk yang panjang adalah kegiatan wajib di pesantren
Hidayatullah. Menghiba, dengan segala kerendahan diri dihadapan Allah, tiada
yang tinggi selain Allah Jalla wa ‘ala, meratap segala dosa, memohon keampunan-Nya
yang luas dan memohon pertolongan Allah dalam perjuangan rintisan pendirian
pesantern yang sungguh tidak mudah.. Tidak ada yang dapat menolong selain yang
Maha Sempurna Pertolongan-Nya.
Nun diseberang lahan kosong, di
bangunan bakal aula yang berdinding bambu, sudah terdengar sayup-sayup suara
lantunan ayat Jamaluddin dalam lailnya yang sahdu, bersama adik-adik laki-laki
binaannya. Adik saya Romi dan Riko juga turut bersama mereka, hanyut dalam
kesyahduan itu.
Shalat malam nan panjang itu langsung
disambut waktu Subuh. Wudhukpun diperbaharui. Membasuh anggota wudhuk dengan
air sedingin es pagi itu, membuat mata tetap melek. Ba’da subuh kegiatan
dilanjutkan dengan menamatkan juz amma bareng. Tidak ada rasa berat menamatkan
bacaan Qur’an satu juz waktu itu. Tetap saja semangat walau semalaman tidak
tidur. Padahal masa-masa SMA adalah masa “godang lolok” karena masa pertumbuhan
masih sedang berpacu. Ya, rata-rata kami waktu itu sedang duduk di bangku SMA,
kecuali ni Ita, ni Et, ni Tut yang sudah tamat.
Ternyata di dapur bu Nur istri Pak
Usman sudah menyiapkan sarapan. Rebus singkong bersama sambalado terasi dengan
asam. Subhanallah nikmaat sekali. Rebus singkong yang masih hangat, dicolekin
ke sambalado pedas-pedas, wuuaahh lommmak
bona. Jamilah, satu-satunya santri putri tetap yang nginap di pesantern, menghidangkan rebus
singkong dengan sambaladonya di meja. Tak pakai lama, karena enak dan perut
yang juga lapar hidangan jamilah sudah hilang tak berbekas. Terkadang kami me nyantap sarapan di dapur saja, dan sambaladonya masih berada
di atas batu giliang (ulekan). Tangan basilang pintang berebut singkong dan
sambalado. Sebentar saja satu panci singkong ludes semua.
Waktu
itu kita tak pernah menyadari kenapa sarapan pagi sering dengan singkong rebus.
Kita menikmatinya saja karena enaknya juga luar biasa, mungkin karena dimasak
dengan penuh keikhlashan. Ketiadaan beras untuk dimasak membuat bu Nur harus
kreatif mencari alternatif penggantinya. Singkong yang ditanam 4 orang staff
santri putra perinntis pesantren yang menjadi sasarannya.
Menginap di wisma
pesantren setiap malam Minggu adalah momen yang ditunggu-tunggu. Mendengarkan
mutiara berharga dari ustadz Usman, yang menancapkan sendi-sendi aqidah
disanubari, membuat diri merasa hina di hadapan Allah, namun mempunyai izzah
dihadapan manusia. Penjelasan tafsir Alqur’annya dengan metode sistematika
wahyu sangat lugas, gamblang dan aplikatif
langsung menghujam di hati. Tak peduli walau tidur bersusun umpama sarden
di kaleng, satu tempat tidur diisi enam sampai
tujuh orang, bahkan ada yang rela tidur di lantai yang dingin beralaskan
tikar yang tipis.
Lokasi wisma yang didirikan diatas tebing, yang berbatasan
langsung dengan area persawahan, membuat angin begitu leluasa berhembus. Kala
malam menjelang, hawa dingin yang ditingkahi angin, sangat menggoda kita untuk
berlama-lama menggelung dibawah selimut tebal. Ipih sering mengaku dengan
senyum malu-malu , "Aku yang bangunnya paling lama ya, Aku yang paling
sering dibangunkan ulang oleh Bu Nur". Ya, santri remaja putri yang sering
ikut mabit waktu itu ada Jamilah, Deni, uni Ita, Vivi, Ibet, Eka, uni Et, ni
It, ni Tut, Ipih, Epi, Ar, ditambah si bocah Iles, teman sepermainan Fauziah-
Faizah, putri kembar Ustadz Usman.
To be continued
Tanah
Mati, Maret 2012
Comments
Post a Comment